Hukum perjanjian merupakan hukum yang terbentuk akibat adanya suatu pihak yang mengikatkan dirinya kepada pihak lain. Dalam hal ini,kedua belah pihak telah menyetujui untuk melakukan suatu perjanjia tanpa adanya paksaan maupun keputusan yang hanya bersifat sebelah pihak.
Hukum perjanjian dikeluarkan dengan tujuan agar semua proses kerjasama yang terjadi dapat berjalan dengan lancar dan untuk mengurangin resiko terjadinya penipuan atau hal apapun yang beresiko merugikan salah satu pihak.Peranan hukum disini adalah sebagai pengatur atau sebagai penunduk para pelaku hukum agar tetap bertindak sesuai peraturan yang telah ditentukan,dan tentunya peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang berlandaskan UUD. Contohnya Pasal 13 ayat 20 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
Hukum perjanjian terbentuk dengan beberapa asas-asas perjanjian, diantaranya :
1. Konsensualisme
Perjanjian ini merupakan perjanjian yang sudah sah dan disepakatai oleh kedua belah pihak, dan bukan merupakan perjanjian sebagai formalitas semata.
2. Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1.
Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.
Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.
Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya;
4.
Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau
lisan
3. Pacta Sunt Servanda (asas kepastian hukum)
Asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau
pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.